Bencana sepakbola yang menewaskan 74 orang dan ribuan luka-luka usai duel liga Mesir Al-Masry melawan Al-Ahly segera menyisakan pertanyaan. Mengapa, petugas keamanan terkesan lambat saat terjadi kerusuhan usai laga yang dimenangkan Al-Masry 3-1, Kamis (2/2) dinihari WIB.
Bahkan pemain Al-Ahly Mohamed Abo Treika sempat heran karena tidak terlihat petugas keamanan yang berusaha mengendalikan situasi.
"Tidak ada upaya pengamanan. Tidak ada yang bergerak, tidak ada petugas keamanan dan ambulan," ungkapnya.
Akibatnya, situasi makin tidak terkendali. Apalagi, ribuan suporter masuk ke lapangan dan tidak ada yang mencegah. Saksi mata mengatakan petugas polisi maupun tentara seperti membiarkan insiden keributan. Termasuk saat keributan merembet di jalanan. Bahkan polisi tidak terlihat untuk mengamankan situasi.
Kabar yang beredar, militer dan polisi sengaja membiarkan kejadian itu sebagai bentuk 'pembalasan' terhadap gerakan protes dari kelompok garis keras yang memunculkan revolusi di Mesir. Pasalnya, kelompok yang anti-militer ini banyak berada di organisasi garis keras atau lebih dikenal sebagai ultras dari suporter klub sepakbola.
Mereka kerap menyuarakan anti-polisi dan militer yang dianggap menyalahgunakan kekuasaan selama rezim Hosni Mubarak. Saat menggelar demonstrasi di Kementerian Dalam Negeri, mereka berkumpul di sekitar markas klub Al-Ahly di Kairo. Akibatnya, fans klub itu dituding ikut terlibat dalam aksi protes.
Banyak saksi mata yang mengungkapkan bila petugas seperti membiarkan kerusuhan. Menjelang pertandingan, petugas pintu masuk pun membiarkan suporter membawa pisau ke stadion.
Saat kerusuhan, tank dan pasukan bersenjata pun bergabung dengan polisi berjaga-jaga di dekat rumah sakit yang merawat korban maupun di kamar jenazah. Seorang petugas keamanan menyatakan mereka menggunakan gas air mata untuk membubarkan massa. Namun, dia kemudian menyatakan tak punya wewenang berbicara dengan wartawan.