Jadi untuk mengukur seorang individu manusia lulus dari pelatihan Puasa adalah ia berperilaku jujur dalam kehidupan sehari-hari selama sebelas bulan ke depan. Kenapa jujur, karena yang benar benar mengetahui apakah kita puasa sungguh sungguh atau tidak hanyalah Allah dan diri kita sendiri, orang terdekatpun tidak ada yang mengetahuinya, andai saja diperjalanan ke kantor Anda diam-diam makan permen di jalan, atau kala tak ada siapapun Anda meneguk seteguk air karena kehausan, tidak seorangpun tau kecuali diri kita sendiri dan Allah.
Dengan kejujuran hidup kita lebih damai tentram dan dalam bahasa agama lebih berkah yaitu apa yang kita peroleh membawa kebahagiaan dan manfaat bukan kerusakan dan siksa bagi diri kita, mari kita ikuti cuplikan kisah berikut dari kejujuran seorang tukang tambal ban di kolong ibukota Jakarta yang penuh dengan kepalsuan dan manipulasi berikut ini
Dengan kejujuran hidup kita lebih damai tentram dan dalam bahasa agama lebih berkah yaitu apa yang kita peroleh membawa kebahagiaan dan manfaat bukan kerusakan dan siksa bagi diri kita, mari kita ikuti cuplikan kisah berikut dari kejujuran seorang tukang tambal ban di kolong ibukota Jakarta yang penuh dengan kepalsuan dan manipulasi berikut ini
“KEJUJURAN ITU Mahal dik!” Bener, bukan saya yang mengatakan hal itu. Ucapan itu mungkin buat kita yang biasa melihat banyak kemunafikan, banyak kebohongan dan banyak kebrengsekkan di depan kita [atau malah mungkin kita bagian dari hal itu?], jadi sesuatu yang klise dan numpang lewat saja. Tapi kalimat itu diucapkan dengan intonasi sederhana dari seorang penambal ban, bernama SOEWARDI.
Mbah Wardi –begitu biasa dia dipanggil– adalah seorang penambal ban di depan Roxy Mas. Aku ngobrol gara-gara ban motorku kena paku ‘segede bagong’. Kabarnya, memang disana banyak yang sering kena paku aneh-aneh. Ketika semua orang menunjuk tempat tambal bannya, aku sudah “berprasangka” pasti orang ini yang menyebar paku, biar tambal bannya laris.
Ketika menunggu, karena ada beberapa yang sedang ditambal, beberapa ‘pak ogah’ nawarin aku untuk tambal ban di seberang jalan lain, karena menurut mereka lebih kosong dan bisa cepat dikerjakan. Tapi entah kenapa, aku memilih untuk menunggu antrean saja. Males jalan sih tepatnya…
Sembari menunggu, aku ngobrol dengan Mbah Wardi. Soalnya, yang nambal, lebih sering diberikan kepada ‘anak-buahnya’ sementara Mbah Wardi mengawasi.
Mbah Wardi mengaku, lahir dan besar di Magelang Jawa Tengah, 70 tahun silam. Dengan bangga, Mbah Wardi menyebut dirinya adalah warga Lembah Tidar, julukan Kota Magelang. Tahun 1959-an, dia sudah merantau ke Jakarta dan mencoba peruntungan di banyak pekerjaan.
“Dulu Jakarta bagus mas. Nggak macet dan polusi kaya sekarang. Saya ngontrak di daerah Roxy cuma 350 rupiah perbulan ketika itu,” katanya mulai mengorek masa lalunya. Sampai akhirnya tahun 1973, Mbah Wardi membuka usaha tambal ban, di Roxy, tempat yang sampai sekarang ditempatinya.
“Saya sering diajarin untuk nyebar paku dik, tapi buat apa? Rejeki sudah ada yang ngatur kan,” tegasnya. Mbah Wardi juga bercerita, dirinya pernah menemukan HP pelanggannya dan menyimpannya, sampai ketika esok harinya yang punya balik, HP itu dikembalikannya tanpa minta imbalan. “Kejadian kaya gitu sering lo dik,” tambahnya. “Kejujuran itu sekarang mahal dik,” tegasnya.
Puluhan tahun menjadi penambal ban, membuat ayah dari 3 anak yang sudah mentas ini paham betul trik untuk “nakal” dan mencari peluang untuk nambahin recehan. “Tapi kalau saya lakukan, mungkin hari itu saya dapat uang banyak, tapi besok-besok saya malah ditutup rejekinya to,” ujarnya polos.
Mbah Wardi bercerita dengan wajar, santai dan hati-hati. Baginya, dengan segala kekurangan dan kelebihannya, jujur adalah nomor satu. “Yang lain tidak jujur silakan, saya nggak mau ikut-ikutan dik,” tandasnya.
Yah, mengapa harus ikut-ikutan brengsek, ketika yang lain jadi brengsek? Mengapa harus ikut-ikutan nakal? Mengapa harus jadi penipu ketika yang lain ramai-ramai jadi penipu? Mbah Wardi, keukeuh untuk jadi dirinya sendiri. Sederhana banget, dengan menjadi penambal ban yang jujur…. maaf Mbah sudah berprasangka
Mbah Wardi –begitu biasa dia dipanggil– adalah seorang penambal ban di depan Roxy Mas. Aku ngobrol gara-gara ban motorku kena paku ‘segede bagong’. Kabarnya, memang disana banyak yang sering kena paku aneh-aneh. Ketika semua orang menunjuk tempat tambal bannya, aku sudah “berprasangka” pasti orang ini yang menyebar paku, biar tambal bannya laris.
Ketika menunggu, karena ada beberapa yang sedang ditambal, beberapa ‘pak ogah’ nawarin aku untuk tambal ban di seberang jalan lain, karena menurut mereka lebih kosong dan bisa cepat dikerjakan. Tapi entah kenapa, aku memilih untuk menunggu antrean saja. Males jalan sih tepatnya…
Sembari menunggu, aku ngobrol dengan Mbah Wardi. Soalnya, yang nambal, lebih sering diberikan kepada ‘anak-buahnya’ sementara Mbah Wardi mengawasi.
Mbah Wardi mengaku, lahir dan besar di Magelang Jawa Tengah, 70 tahun silam. Dengan bangga, Mbah Wardi menyebut dirinya adalah warga Lembah Tidar, julukan Kota Magelang. Tahun 1959-an, dia sudah merantau ke Jakarta dan mencoba peruntungan di banyak pekerjaan.
“Dulu Jakarta bagus mas. Nggak macet dan polusi kaya sekarang. Saya ngontrak di daerah Roxy cuma 350 rupiah perbulan ketika itu,” katanya mulai mengorek masa lalunya. Sampai akhirnya tahun 1973, Mbah Wardi membuka usaha tambal ban, di Roxy, tempat yang sampai sekarang ditempatinya.
“Saya sering diajarin untuk nyebar paku dik, tapi buat apa? Rejeki sudah ada yang ngatur kan,” tegasnya. Mbah Wardi juga bercerita, dirinya pernah menemukan HP pelanggannya dan menyimpannya, sampai ketika esok harinya yang punya balik, HP itu dikembalikannya tanpa minta imbalan. “Kejadian kaya gitu sering lo dik,” tambahnya. “Kejujuran itu sekarang mahal dik,” tegasnya.
Puluhan tahun menjadi penambal ban, membuat ayah dari 3 anak yang sudah mentas ini paham betul trik untuk “nakal” dan mencari peluang untuk nambahin recehan. “Tapi kalau saya lakukan, mungkin hari itu saya dapat uang banyak, tapi besok-besok saya malah ditutup rejekinya to,” ujarnya polos.
Mbah Wardi bercerita dengan wajar, santai dan hati-hati. Baginya, dengan segala kekurangan dan kelebihannya, jujur adalah nomor satu. “Yang lain tidak jujur silakan, saya nggak mau ikut-ikutan dik,” tandasnya.
Yah, mengapa harus ikut-ikutan brengsek, ketika yang lain jadi brengsek? Mengapa harus ikut-ikutan nakal? Mengapa harus jadi penipu ketika yang lain ramai-ramai jadi penipu? Mbah Wardi, keukeuh untuk jadi dirinya sendiri. Sederhana banget, dengan menjadi penambal ban yang jujur…. maaf Mbah sudah berprasangka
source: http://www.kaskus.us/showthread.php?t=10196070